Nama : Uswatun
Hasanah
Nim : I1C113076
KASUS DALAM PSIKOLOGI
KEPRIBADIAN
Deskripsi
Kasus :
Tahun yang lalu saya harus mondar-mandir ke SD Budi
Mulia Bogor. Anak sulung kami yang bernama Dika, duduk di kelas 4 di SD itu.
Waktu itu Saya memang harus berurusan dengan wali kelas dan kepala sekolah. Pasalnya
menurut observasi wali kelas dan kepala sekolah, Dika yang duduk di kelas unggulan,
tempat penggemblengan anak-anak berprestasi itu, waktu itu justru tercatat
sebagai anak yang bermasalah. Saat saya tanyakan apa masalah Dika, guru dan
kepala sekolah justru menanyakan apa yang terjadi di rumah sehingga anak
tersebut selalu murung dan menghabiskan sebagian besar waktu belajar di kelas
hanya untuk melamun. Prestasinya kian lama kian merosot. Dengan lemah lembut
saya tanyakan kepada Dika “Apa yang kamu inginkan ?” Dika hanya menggeleng.
“Kamu ingin ibu bersikap seperti apa ?” tanya saya “Biasa-biasa saja” jawab
Dika singkat. Beberapa kali saya berdiskusi dengan wali kelas dan kepala sekolah
untuk mencari pemecahannya, namun sudah sekian lama tak ada kemajuan. Akhirnya
kamipun sepakat untuk meminta bantuan seorang psikolog.
Suatu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika
meninggalkan sekolah untuk menjalani test IQ. Tanpa persiapan apapun, Dika
menyelesaikan soal demi soal dalam hitungan menit. Beberapa saat kemudian,
Psikolog yang tampil bersahaja namun penuh keramahan itu segera memberitahukan
hasil testnya. Angka kecerdasan rata-rata anak saya mencapai 147 (Sangat Cerdas)
dimana skor untuk aspek-aspek kemapuan pemahaman ruang, abstraksi, bahasa, ilmu
pasti, penalaran, ketelitian dan kecepatan berkisar pada angka 140 – 160. Ada
satu kejanggalan, yaitu skor untuk kemampuan verbalnya tidak lebih dari 115
(Rata-Rata Cerdas). Perbedaan yang mencolok pada 2 tingkat kecerdasan yang
berbeda itulah yang menurut Psikolog, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut. Oleh sebab Itu
Psikolog itu dengan santun menyarankan saya untuk mengantar Dika kembali Ke
tempat itu seminggu lagi. Menurutnya Dika perlu menjalani test kepribadian.
Suatu sore, saya menyempatkan diri mengantar Dika
kembali mengikuti serangkaian test kepribadian. Melalui interview dan test
tertulis yang dilakukan, setidaknya Psikolog Itu telah menarik benang merah
yang menurutnya menjadi salah satu atau beberapa factor penghambat kemampuan
verbal Dika. Setidaknya saya bisa membaca jeritan hati kecil Dika. Jawaban yang
jujur dari hati Dika yang paling dalam itu membuat saya berkaca diri, melihat
wajah seorang ibu yang masih jauh dari ideal.
Ketika Psikolog itu menuliskan pertanyaan “Aku ingin
ibuku :….” Dika pun menjawab: “membiarkan aku bermain sesuka hatiku, sebentar
saja” Dengan beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa selama ini saya
kurang memberi kesempatan kepada Dika untuk bermain bebas. Waktu itu saya
berpikir bahwa banyak ragam permainan-permainan edukatif sehingga saya merasa
perlu menjadwalkan kapan waktunya menggambar, kapan waktunya bermain puzzle,
kapan waktunya bermain basket, kapan waktunya membaca buku cerita, kapan waktunya
main game di computer dan sebagainya.Waktu itu saya berpikir bahwa demi kebaikan
dan demi masa depannya, Dika perlu menikmati permainan-permainan secara merata
di sela-sela waktu luangnya yang memang tinggal sedikit karena sebagian besar
telah dihabiskan untuk sekolah dan mengikuti berbagai kursus di luar sekolah.
Saya selalu pusing memikirkan jadwal kegiatan Dika yang begitu rumit. Tetapi
ternyata permintaan Dika hanya sederhana: diberi kebebasan bermain sesuka
hatinya, menikmati masa
kanak-kanaknya.
kanak-kanaknya.
Ketika Psikolog menyodorkan kertas bertuliskan “Aku
ingin Ayahku …” Dika pun menjawab dengan kalimat yang berantakan namun
kira-kira artinya “Aku ingin ayahku melakukan apa saja seperti dia menuntutku
melakukan sesuatu” Melalui beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa Dika
tidak mau diajari atau disuruh, apalagi diperintah untuk melakukan ini dan itu.
Ia hanya ingin melihat ayahnya melakukan apa saja setiap hari, seperti apa yang
diperintahkan kepada Dika. Dika ingin ayahnya bangun pagi-pagi kemudian
membereskan tempat tidurnya sendiri, makan dan minum tanpa harus dilayani orang
lain, menonton TV secukupnya, merapikan sendiri koran yang habis dibacanya dan
tidur tepat waktu. Sederhana memang, tetapi hal-hal seperti itu justru sulit
dilakukan oleh kebanyakan orang tua.
Ketika Psikolog mengajukan pertanyaan “Aku ingin ibuku
tidak …”. Maka Dika menjawab “Menganggapku seperti dirinya” Dalam banyak hal
saya merasa bahwa pengalaman hidup saya yang suka bekerja
keras, disiplin, hemat, gigih untuk mencapai sesuatu yang saya inginkan itu merupakan sikap yang paling baik dan bijaksana. Hampir-hampir saya ingin menjadikan Dika persis seperti diri saya. Saya dan banyak orang tua lainnya seringkali ingin menjadikan anak sebagai foto copy diri kita atau bahkan beranggapan bahwa anak adalah orang dewasa dalam bentuk sachet kecil.
keras, disiplin, hemat, gigih untuk mencapai sesuatu yang saya inginkan itu merupakan sikap yang paling baik dan bijaksana. Hampir-hampir saya ingin menjadikan Dika persis seperti diri saya. Saya dan banyak orang tua lainnya seringkali ingin menjadikan anak sebagai foto copy diri kita atau bahkan beranggapan bahwa anak adalah orang dewasa dalam bentuk sachet kecil.
Ketika Psikolog memberikan pertanyaan “Aku ingin
ayahku tidak : ..”
Dikapun menjawab “Tidak mempersalahkan aku di depan orang lain. Tidak mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan kecil yang aku buat adalah dosa” Tanpa disadari, orang tua sering menuntut anak untuk selalu bersikap dan bertindak benar, hingga hampir-hampir tak memberi tempat kepadanya untuk berbuat kesalahan. Bila orang tua menganggap bahwa setiap kesalahan adalah dosa yang harus diganjar dengan hukuman, maka anakpun akan memilih untuk berbohong dan tidak mau mengakui kesalahan yang telah dibuatnya dengan jujur. Kesulitan baru akan muncul karena orang tua tidak tahu kesalahan apa yang telah dibuat anak, sehingga tidak tahu tindakan apa yang harus kami lakukan untuk mencegah atau menghentikannya. Saya menjadi sadar bahwa ada kalanya anak-anak perlu diberi kesempatan Untuk berbuat salah, kemudian Ia pun bisa belajar dari kesalahannya. Konsekuensi dari sikap dan tindakannya yang salah adakalanya bisa menjadi pelajaran berharga supaya di waktu-waktu mendatang tidak membuat kesalahan yang serupa.
Dikapun menjawab “Tidak mempersalahkan aku di depan orang lain. Tidak mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan kecil yang aku buat adalah dosa” Tanpa disadari, orang tua sering menuntut anak untuk selalu bersikap dan bertindak benar, hingga hampir-hampir tak memberi tempat kepadanya untuk berbuat kesalahan. Bila orang tua menganggap bahwa setiap kesalahan adalah dosa yang harus diganjar dengan hukuman, maka anakpun akan memilih untuk berbohong dan tidak mau mengakui kesalahan yang telah dibuatnya dengan jujur. Kesulitan baru akan muncul karena orang tua tidak tahu kesalahan apa yang telah dibuat anak, sehingga tidak tahu tindakan apa yang harus kami lakukan untuk mencegah atau menghentikannya. Saya menjadi sadar bahwa ada kalanya anak-anak perlu diberi kesempatan Untuk berbuat salah, kemudian Ia pun bisa belajar dari kesalahannya. Konsekuensi dari sikap dan tindakannya yang salah adakalanya bisa menjadi pelajaran berharga supaya di waktu-waktu mendatang tidak membuat kesalahan yang serupa.
Ketika Psikolog itu menuliskan “Aku ingin ibuku
berbicara tentang …..” Dikapun menjawab “Berbicara tentang hal-hal yang penting
saja”. Saya cukup kaget karena waktu itu saya justru menggunakan kesempatan
yang sangat sempit, sekembalinya dari kantor untuk membahas hal-hal yang
menurut saya penting, seperti menanyakan pelajaran dan PR yang diberikan
gurunya. Namun ternyata hal-hal yang menurut saya penting, bukanlah sesuatu
yang penting untuk anak saya. Dengan jawaban Dika yang polos dan jujur itu saya
diingatkan bahwa kecerdasan tidak lebih penting dari pada hikmat dan pengenalan
akan Tuhan. Pengajaran tentang kasih tidak kalah pentingnya dengan ilmu
pengetahuan. Atas pertanyaan “Aku ingin ayahku berbicara tentang …..”,
Dikapun menuliskan “Aku ingin ayahku berbicara tentang
kesalahan-kesalahan nya. Aku ingin ayahku tidak selalu merasa benar, paling
hebat dan tidak pernah berbuat salah. Aku ingin ayahku mengakui kesalahannya
dan meminta maaf kepadaku”. Memang dalam banyak hal, orang tua berbuat benar
tetapi sebagai manusia, orang tua tak luput dari kesalahan. Keinginan Dika
sebenarnya sederhana, yaitu ingin orang tuanya sportif, mau mengakui kesalahnya
dan kalau perlu meminta maaf atas kesalahannya, seperti apa yang diajarkan
orang tua kepadanya.
Ketika Psikolog menyodorkan tulisan “Aku ingin ibuku
setiap hari… ” Dika berpikir sejenak, kemudian mencoretkan penanya dengan
lancar”. Aku ingin ibuku mencium dan memelukku erat-erat seperti ia mencium dan
memeluk adikku”. Memang adakalanya saya berpikir bahwa Dika yang hampir
setinggi saya sudah tidak pantas lagi dipeluk-peluk, apalagi dicium-cium.
Ternyata saya salah, pelukan hangat dan ciuman sayang seorang ibu tetap
dibutuhkan supaya hari-harinya terasa lebih indah. Waktu itu saya tidak
menyadari bahwa perlakukan orang tua yang tidak sama kepada anak-anaknya
seringkali oleh anak-anak diterjemahkan sebagai tindakan yang tidak adil atau
pilih kasih. Secarik kertas yang berisi pertanyaan “Aku ingin ayahku setiap
hari…”
Dika menuliskan sebuah kata tepat di atas titik-titik dengan satu kata “tersenyum” Sederhana memang, tetapi seringkali seorang ayah merasa perlu menahan senyumannya demi mempertahankan wibawanya. Padahal kenyataannya senyuman tulus seorang ayah sedikitpun tidak akan melunturkan wibawanya, tetapi justru bisa menambah simpati dan energi bagi anak-anak dalam melakukan segala sesuatu seperti yang ia lihat dari ayahnya setiap hari.
Dika menuliskan sebuah kata tepat di atas titik-titik dengan satu kata “tersenyum” Sederhana memang, tetapi seringkali seorang ayah merasa perlu menahan senyumannya demi mempertahankan wibawanya. Padahal kenyataannya senyuman tulus seorang ayah sedikitpun tidak akan melunturkan wibawanya, tetapi justru bisa menambah simpati dan energi bagi anak-anak dalam melakukan segala sesuatu seperti yang ia lihat dari ayahnya setiap hari.
Ketika Psikolog memberikan kertas yang bertuliskan
“Aku ingin ibuku memanggilku. …” Dikapun menuliskan “Aku ingin ibuku
memanggilku dengan nama yang bagus” Saya tersentak sekali ! Memang sebelum ia
lahir kami telah memilih nama yang paling bagus dan penuh arti, yaitu Judika
Ekaristi Kurniawan. Namun sayang, tanpa sadar, saya selalu memanggilnya dengan
sebutan Nang atau Le. Nang dalam Bahasa Jawa diambil dari kata “Lanang” yang
berarti laki-laki. Sedangkan Le dari kata “Tole”. Waktu itu saya merasa bahwa
panggilan tersebut wajar-wajar saja, karena hal itu merupakan sesuatu yang
lumrah di kalangan masyarakat Jawa. Ketika Psikolog menyodorkan tulisan yang
berbunyi “Aku ingin ayahku memanggilku ..” Dika hanya menuliskan 2 kata saja,
yaitu “Nama Asli”. Selama ini suami saya memang memanggil Dika dengan sebutan
“Paijo” karena sehari-hari Dika berbicara dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa
Sunda dengan logat Jawa medok. “Persis Paijo, tukang sayur keliling” kata suami
saya.
Atas jawaban-jawaban Dika yang polos dan jujur itu,
saya menjadi malu karena selama ini saya bekerja disebuah lembaga yang membela
dan memperjuangkan hak-hak anak. Kepada banyak orang saya kampanyekan
pentingnya penghormatan hak-hak anak sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak
Sedunia. Kepada khalayak ramai saya bagikan poster bertuliskan “To Respect
Child Rights is an Obligation, not a Choise” sebuah seruan yang
mengingatkan bahwa “Menghormati Hak Anak adalah Kewajiban, bukan Pilihan”.
Tanpa saya sadari, saya telah melanggar hak anak saya karena telah memanggilnya
dengan panggilan yang tidak hormat dan bermartabat.
Analisis Kasus :
Dalam diamnya anak, dalam senyum
anak yang polos dan dalam pola tingkah anak yang membuat orang tua
kadang-kadang bangga dan juga kadang-kadang jengkel, ternyata ada banyak pesan
yang tak terucapkan. Bahwa mereka pun butuh untuk mengaktualisasikan diri
mereka tanpa terlalu didikte oleh orang tua dan bukan hanya kebutuhan materi
yang mereka inginkan mereka juga ingin merasakan kasih sayang, penghargaan
terhadap pekerjaan yang telah mereka lakukan, bukan hanya cercaan terhadap
kesalahan yang mereka lakukan. Tuntutan yang terlalu banyak diberikan oleh
orang tua terhadap anak akan berimbas pada kepribadiannya kelak juga terhadap sosialisasi
yang tidak baik dikarenakan kemampuan verbal yang tidak begitu baik pula.
Kemampuan verbal yang tidak begitu baik dikarenakan ketidakbisaan anak untuk
mengungkapkan keinginannya terhadap berbagai hal menjadikan semua yang ia
ingikan terpendam begitu saja. Seadainya orang tua lebih mengerti bahwa anak pun
butuh akan kebebasan dalam artian positif anak akan melalui fase-fase kebutuhan
Maslow dengan tanpa hambatan yang berarti. Kebutuhan Maslow tersebut meliputi kebutuhan
fisiologis atau biologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa cinta
kasih, kebutuhan akan penghargaan, kebutuhan akan aktualisasi diri.
Dan
seandainya semua ayah mengasihi anak-anaknya, maka tidak ada satupun anak yang
kecewa atau marah kepada ayahnya. Anak-anak memang harus diajarkan untuk
menghormati ayah dan ibunya, tetapi para ayah (orang tua) tidak boleh
membangkitkan amarah di dalam hati anak-anaknya. Para ayah harus mendidik
anaknya dengan kasih sayang bukan hanya hukuman-hukuman yang diberikan atau perintah-perintah
yang menbuat diri anak tidak nyaman. Pengertian terhadap hak-hak anak harus
lebih diperhatikan baik fisik maupun mental. Dan berikanlah mereka lebel-lebel
yang positif baik dalam penyebutan nama juga pada kesamaan yang mereka miliki
dengan orang lain (seperi logat yang sama dengan Paijo, tukang sayur keliling).
Teori :
Teori Kepribadian Abraham Maslow
1.
Kebutuhan-Kebutuhan Fisiologis atau Biologis
Dimana kebutuhan ini adalah kebutuhan yang paling kuat dan paling jelas
diantara kebutuhan-kebutuhan yang lainnya, yaitu kebutuhan mempertahankan
hidupnya secara fisik diantaranya adalah: kebutuhan akan makanan, minuman,
tempat untuk bernaung, sek, oksigen. Maslow mengatakan seseorang yang belum
terpenuhi kebutuhan dasarnya, maka ia akan terlebih dahulu memenuhi kebutuhan
dasarnya sebelum beranjak kepada kebutuhan yang lain.
2.
Kebutuhan akan Rasa Aman
Setelah kebutuhan fisiologis/biologis terpenuhi, maka muncul kebutuhan baru
yaitu kebutuhan akan rasa aman karena kebutuhan rasa aman sangat dibutuhkan
pada masa kanak-kanak sampai pada masa lansia.
3.
Kebutuhan akan Rasa Cinta Kasih
Cinta, sebagaimana kata itu digunakan oleh Maslow, tidak boleh dikacaukan
dengan seks, yang dapat dipadankan dengan sebagian kebutuhan fisiologis semata.
Maslow juga mengemukakan bahwa tanpa cinta pertumbuhan dan perkembangan manusia
akan terhambat. Menurut Maslow, cinta menyangkut hubungan yang sehat dan penuh
kasih sayang antara dua orang.
4.
Kebutuhan akan penghargaan
Setiap orang memiliki dua kategori kebutuhan yakni “harga diri dan
penghargaan dari orang lain. Harga diri meliputi: kebituhan akan percaya diri,
kompetensi, pengusaan, kecukupan prrestasi, ketidak ketergantungan dan
kebebesan. Sedangkan kebutuhan akan dihargai oleh orang lain adalah: prestise,
pengakuan, penerimaan, perhatian, kedudukan, nama baik serta penghargaan.
5.
Kebutuhan akan aktualisasi diri
“Setiap orang harus berkembang sepenuh kemampuannya”, itulah yang dikatakan
Maslow. Oleh karena itu, setiap orang dapat mengembangkan dirinya dengan
sepenuh kemampuan yang dimilikinya untuk dapat menjadi manusia seutuhnya.
Nama : Uswatun
Hasanah
Nim : I1C113076
KASUS DALAM PSIKOLOGI
KEPRIBADIAN
Deskripsi Kasus
“ANDRI memutuskan untuk berhenti sekolah dan melupakan segala sesuatu yang telah diraihnya. Sejak peristiwa kecelakaan yang menyebabkan dia kehilangan kedua kakinya membuat andri merasa sangat terpuruk dan kecewa. Andri merasa hidupnya telah hancur dan tidak mampu meraih masa depannya lagi. Bahkan untuk bertemu orang saja, Andri merasa tidak sanggup dan malu karena harus di pandang sebagai orang cacat. Tadinya Andri seorang remaja SMU yang energik, pintar dan bercita-cita untuk menjadi seorang tentara yang gagah. Dia belajar keras untuk mendapatkan nilai-nilai di raportnya untuk mendukung rencananya melanjutkan pendidikan di akademi militer. Persiapan fisik juga telah dilakukannya, untuk menjaga kesimbangan dan stamina tubuh agar layak memenuhi persyaratan yang ada. Saat itu menjelang ujian akhir sekolah, Andri pergi mengunjungi saudaranya di luar kota, dan ia mengalami kecelakaan yang menyebabkan hilangnya kedua kaki Andri”
Analisis Kasus
Berdasarkan kasus
diatas, inferioritas bukan suatu pertanda abnormal melainkan bentuk
penyempurnaan dari manusia. Hal ini dibuktikan dengan berbagai upaya perjuangan
Andri untuk menjadi ke arah superior dengan cara belajar keras untuk
mendapatkan nilai yang bagus di rapot serta persiapan fisik untuk menjaga
stamina tubuh demi mendukung rencananya untuk dapat masuk akademi militer. Berarti
sebelum terjadi peristiwa kecelakaan yang menyebabkan Andri kehilangan kedua
kakinya, Andri adalah individu yang berkembang tanpa suatu kompleks
inferioritas atau kompleks superioritas yang merupakan manifestasi bentuk
abnormal sesuai dengan konsep inferioritas Adler. Bukti bahwa Andri tidak
mengalami keabnormalan superioritas komplek adalah bahwa disamping keinginannya
memperoleh tujuan untuk kepentingan diri sendiri masih ditunjukkan minat sosial
Andri yaitu adanya upaya membina relasi sosial dengan kunjungan terhadap keluarga
di luar kota sebelum terjadi kecelakaan. Gambaran sebagai sosok remaja SMU yang
energik mengindikasikan bahwa Andri cenderung berinteraksi dengan orang
disekitarnya, aktif, ramah dan mudah bergaul dengan lingkungan. Berdasarkan
salah satu paradigma dalam konsep psikologi individualnya Adler mengembangkan
teori individualitas sebagai pokok persoalan maka setelah terjadi kecelakaan
itu muncul keabnormalan berupa inferioritas komplek. Inferioritas komplek
ditandai dengan simptom self image yg buruk yaitu keterpurukan, kekecewaan,
malu dan kontak sosial berubah. Tampilan-tampilan perilaku yang mendominasi
dalam kasus ini yaitu inferioritas komplek maka individu tersebut akan
menunjukkan sikap menolak untuk bekerja sama (lebih tertutup) atau sangat
introvert. Rasa tidak mampu dan ragu akan kemampuan muncul karena keterbatasan
yang dimilikinya. Dan hal ini sangat mempengaruhi perilaku yang akan dilakukan
selanjutnya.
Teori :
Teori
Psikologi Individual Alfred Adler
Bagi
Adler, manusia lahir dalam keadaan tubuh yang lemah dan tak berdaya. Kondisi ketidakberdayaan
itu menimbulkan perasaan inferioritas dan ketergantungan kepada orang lain.
Manusia, menurut Adler, merupakan makhluk yang saling tergantung secara sosial.
Perasaan bersatu dengan orang lain ada sejak manusia dilahirkan dan menjadi
syarat utama kesehatan jiwanya.
Struktur Teori Kepribadian Adler
a. Perjuangan
Menuju Superioritas
Menurut
Adler, manusia termotivasi oleh satu alasan utama, alasan tersebut bisa menjadi
perasaan inferior dan menjadi superior. Individu memulai hidupnya dengan kelemahan
fisik yang menimbulkan perasaan inferioritas. Perasaan inilah yang kemudian
menjadi pendorong agar dirinya sukses dan tidak menyerah pada inferioritasnya.
b. Finalisme
yang Fiktif
Konsep
Adler tentang motivasi manusia sangat berlawanan dengan keyakinan Freud.
Menurut konsep Adler, perilaku kita ditentukan oleh persepsi kita tentang apa
harapan kita untuk mencapai masa depan, bukan pada apa yang telah kita lakukan,
atau apa yang kita peroleh di masa lalu. Fenomena psikologis tidak dapat
dijelaskan dengan insting, impuls, pengalaman, trauma, tetapi hanya dapat
difahami melalui “perspektif (seperti juga fenomena) yang telah diperoleh
individu sebelumnya, yang menghubungkan seluruh kehidupan untu mencapai
cita-cita. Teori Adler dapat menjadi pemandu perilaku kita dalam mencapai
cita-cita. Cita-cita adalah “mimpi” sebab mereka tidak berdasarkan realita.
Mereka adalah gambaran ide-ide kita yang mungkin menjadi dasar interpretasi
subjektif kita tentang dunia. Mimpi (cita-cita) bukan wujud dari nasib atau
takdir.
c. Kesatuan
dan Konsistensi Dalam Diri Kepribadian
Adler
memilih nama psikologi individu (individual psychology) dengan harapan dapat
menekankan keyakinan bahwa setiap orang itu unik dan tidak dapat dipecah-pecah.
Psikologi individu menekankan pentingnya unitas kepribadian. Pikiran, perasaan,
dan kegiatan semuanya diarahkan ke satu tujuan tunggal dan mengejar satu
tujuan. Adler (1956) menemukan beberapa ciri operasi secara keseluruhan dengan
kesatuan dan konsistensi diri ini. Ciri pertama disebut dengan dialect organ
tubuh, Adler mengatakan bahwa setiap manusia pada dasarnya mempunyai kelemahan
organis. Berbeda dengan hewan, manusia tidak dilengkapi dengan alat-alat tubuh
untuk melawan alam. Kelemahan-kelemahan organis inilah yang justru membuat
manusia lebih unggul dari makhluk-makhluk lainnya, karena mendorong manusia
untuk melakukan kompensasi (menutupi kelemahan). Ciri kedua kesatuan
kepribadian adalah harmoni diantara perilaku sadar dan perilaku bawah sadarnya.
Adler (1956) mendefinisikan alam bawah sadar sebagai bagian yang tidak
terumuskan dengan jelas atau tidak sepenuhnya dimengerti individu.
Pikiran-pikiran sadar adalah pikiran yang dimengerti dan yang dijadikan
individu sebagai bantuan berharga bagi perjuangannya menuju keberhasilan,
sementara pikiran-pikiran bawah sadar adalah pikiran yang tidak dapat
membantunya secara langsung.
d. Perasaan
Inferioritas dan Kompensasi
Adler
termasuk pada Neo freudian, konsep utamanya lebih kepada perilaku kompensasi
dari perasaan kekurangan diri yang nyata (inferiority compleks) menjadi kepada
suatu kemampuan tertentu. Inferiority kompleks ini akan menjadi masalah jika
masuk pada kondisi neurotik, sehingga kompensasinya berlebihan. Rasa rendah
diri (inferior) mendorong seseorang untuk superior, sehingga individu terdorong
(memiliki motivasi yang besar) untuk secara terus-menerus bergerak “dari kurang
ke lebih, dari bawah ke atas”. Sifat rendah diri menurut Adler, adalah sesuatu
yang normal, kita semua berawal sebagai mahluk yang lemah dan kecil. Sifat
rendah diri muncul secara konstan ketika kita menemukan tugas yang tidak
familier dan baru, yang harus dikuasai. Perasaan ini adalah menjadi penyebab
semua perkembangan tingkah laku manusia.
e. Minat
Sosial (Social Interest)
Adler
menggambarkan minat sosial sebagai suatu kepedulian dan perhatian tentang
kesejahteraan orang lain yang terus menerus, sepanjang hidup, untuk memandu
perilaku seseorang. Minat social menurut Adler adalah tanggung jawab seorang
ibu, bagaimana seorang ibu memberi pengalaman pertama kepada anaknya
mengembangkan anak memperluas minat atau ketertarikan pada orang lain, jika
tidak maka anak tidak siap untuk mengatasi masalah di sekitarnya, dan system
pendidikan dapat menjadi pengganti peran orang tua dalam melatih anaknya. Minat
sosial membuat individu mampu berjuang mengejar superioritas dengan cara yang
sehat dan tidak tersesat ke arah maladjusment. Bahwa semua kegagalan, neurotik,
psikotik, kriminal, pemabuk, anak bermasalah, menurut Adler, terjadi karena
penderita kurang memiliki minat sosial. Kehidupan sosial menurut Adler
merupakan sesuatu yang alami bagi manusia, dan minat sosial adalah perekat
kehidupan sosial itu. Minat sosial menjadi satu-satunya kriteria untuk mengukur
kesahatan jiwa. Tingkat seberapa tinggi minat sosial seseorang, menunjukkan
kematangan psikologisnya. Orang yang tidak matang psikologisnya kurang memiliki
minat sosial, mementingkan diri sendiri, berjuang menjadi superioriti pribadi
melampaui orang lain. Sedangkan orang yang sehat secara psikologis, peduli
terhadap orang lain dan mempunyai tujuan menjadi sukses yang mencakup
kebahagiaan semua umat manusia.
f. Gaya
Hidup (Style Of Life)
Menurut
Adler setiap orang memiliki tujuan, merasa inferior, berjuang menjadi superior.
Namun setiap orang berusaha mewujudkan keinginan tersebut dengan gaya hidup
yang berbeda-beda. Adler menyatakan bahwa gaya hidup adalah cara unik kita
mencapai tujuan yang telah kita tetapkan dalam hidup kita. Masing – masing
orang akan mengatur gaya hidupnya agar sesuai dan cocok dengan tujuan akhirnya
dan menetukan jalan atau cara untuk memperoleh tujuan tersebut.
g. Diri
Kreatif
Self kreatif
merupakan puncak prestasi Adler sebagai teoris kepribadian. Menurut Adler, self
kreatif atau diri kreatif adalah kekuatan ketiga yang paling menentukan tingkah
laku (kekuatan pertama dan kedua adalah hereditas dan lingkungan). Self
kreatif, menurut Adler, bersifat padu, konsisten, dan berdaulat dalam struktur
kepribadian. Keturunan memberi kemampuan tertentu, lingkungan memberi impresi
atau kesan tertentu. Self kreatif adalah sarana yang mengolah fakta-fakta dunia
dan menstranformasikan fakta-fakta itu menjadi kepribadian yang bersifat
subjektif, dinamis, menyatu, personal dan unik. Self kreatif memberi arti
kepada kehidupan, menciptakan tujuan maupun sarana untuk mencapainya.
menarik sekali untuk dibaca kak
BalasHapuse toll card alfamart
Ternyata luas sekali pengertian kepribadian itu
BalasHapuswah info yang sangat bermanfaat kak
BalasHapusmau tau tentang psikologi lebih detail dan kegiatan apa saja yang ada di psikologi
Silahkan kunjungi www.psikologi.uma.ac.id
Terimakasih
The King Casino Archives - Hertzaman
BalasHapusThe King Casino Archives, including herzamanindir.com/ news, articles, videos, address, wooricasinos.info gaming info, 바카라 사이트 The King Casino & Hotel 1xbet 먹튀 in Henderson, NV ventureberg.com/ is one of the newest hotels and motels on